Evaluasi Hukum Terhadap Eksistensi Ketetapan MPR Secara Normatif Konstitusional

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau disingkat Ketetapan MPR atau TAP MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).
Evaluasi Hukum Terhadap Eksistensi Ketetapan MPR Secara Normatif Konstitusional dalam Rangka Mengawal Tegaknya Konstitusi Negara
Doc : De!
Tag : Tap MPR, Hierarki, Evaluasi Hukum, Konstitusi
ABSTRACT
Politics of Law none other than policy of law which not only will form and enforce law which written and organize as positive law, however also which must confess as single law which is have highest status. At Annual Conference of MPR in the year 2003, MPR specify Decision Of MPR RI Number of I/Mpr/2003 about Sighting to Items and Status Punish Decision of MPRS and Decision Of MPR RI since year 1960 up to year 2002. Target of forming of Decision of the MPR is to evaluate status and items punish each Decision of MPRS and Decision of MPR, specifying existence of Decision of MPRS and Decision of MPR to in this time and a period of to come, and also to give rule of law and Constitutional rights of citizen. Before Code Number 12 in the year 2011, and type of hierarchy law and regulation arranged in Code Number 10 in the year 2004 about Forming of Law And Regulation. In Section 7 sentence (1), wherein him do not the including Decision Of MPR. UU No. 12 in the year 2011 about Forming of Law And Regulation replaced in arranging law and regulation massage under Constitution and above Code/regulation of government of substitution of code (Perpu) so that peep out consequence punish in system legislation of us. On the contrary, entry of Decision of MPR in and type of hierarchy law and regulation exactly bear problem of new law, that is opposition between Rule Section 4 Decision Of MPR Number of I/Mpr/2003 Section 7 sentence (1) Code Number 12 in the year 2011.
Keywords : evaluate, regulation, consequence, MPR RI


I. PENDAHULUAN

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau disingkat Ketetapan MPR atau TAP MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada masa sebelum Perubahan UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang/Perpu. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).
Ketetapan MPRS/MPR RI merupakan khasanah ketatanegaraan yang tak dapat kita pungkiri bahwa selama lebih dari lima dasawarsa menjadi sumber hukum dan pedoman yang memandu perjalanan bangsa dan Negara Republik Indonesia dan dalam perjalanan perkembangan demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia itu juga mengalami pasang surut pemberlakuannya, sesuai dengan perubahan kedudukan dan kewenangan MPR. Karena itu, setelah perubahan UUD, sesuai ketentuan Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945, MPR ditugaskan melakukan peninjauan kembali materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR RI sejak 1960 sampai dengan 2002, yang pada akhirnya dikeluarkan Ketetapan Nomor I/MPR/2003 yang didalamnya ditemukan sejumlah ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku, baik berlaku dengan ketentuan maupun sampai dengan terbentuknya Undang-undang sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003.
Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku sesuai Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dan sesuai pula dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditempatkan kembali dalam tata urut peraturan Perundang-undangan berada di bawah UUD dan di atas Undang-undang/Perpu sehingga memunculkan konsekuenasi hukum dalam sistem Perundang-undangan kita. Kembali berlakunya Ketetapan MPR pun tidak serta-merta mengembalikan posisi MPR seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Tap MPR baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan Undang-undang (legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR.
Sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam Pasal 7 ayat (1), yaitu jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia hanya terdiri atas :
  • Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  • Peraturan Pemerintah
  • Peraturan Presiden
  • Peraturan Daerah.
Di mana di dalamnya tidak termasuk Ketetapan MPR. Pertanyaan hukum yang muncul adalah apakah dengan demikian dalam sistem peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-undang tersebut tidak lagi dikenal produk hukum Ketetapan MPR dan dengan sendirinya Ketetapan MPR tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ketetapan MPR adalah Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Dengan demikian tidak semua ketetapan MPR yang pernah ada lalu menjadi berlaku berdasarkan Undang-undang ini, tetapi sebatas pada ketetapan MPR yang masih berlaku berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Masuknya Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan justru melahirkan persoalan hukum baru, yaitu pertentangan antara Ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
Menggali konsep harmonisasi hukum dalam perspektif perundang-undangan, menggunakan pemikiran terintegrasi yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis dan yuridis, sistem perundang-undangan yang memenuhi prinsip-prinsip sistem hukum nasional Indonesia.[1] Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Suatu tata hukum yakni setiap norma hukum harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem, artinya norma hukum yang satu tidak boleh mengesampingkan norma hukum yang lain. Dengan demikian suatu sistem hukum harus diwujudkan dalam tata susunan norma hukum secara hierarki, tidak dibenarkan adanya pertentangan di antara norma-norma hukum baik pertentangan secara vertikal maupun pertentangan secara horisontal.
Perlu di ditekankan juga bahwa sistem hukum akan memperoleh makna normatifnya hanya dari kaidah-kaidah lain yang lebih tinggi. Tata hukum merupakan suatu hierarki kaidah-kaidah (grundnorm). Grundnorm theory atau stufenbau theory, yaitu dalil yang menganggap bahwa semua hukum itu bersumber pada satu induk. Dalam pengertian ini, setiap norma hukum “yang lebih tinggi” adalah “sumber” dari norma hukum “yang lebih rendah”.[2] Sistem hukum (legal system) mencakup 3 (tiga) unsur, yaitu materi hukum (legal substance), struktur hukum beserta kelembagaannya (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).[3] Sistem hukum nasional menyerap sistem nilai yang terdiri atas sejumlah nilai yang saling berkaitan yang bersumber dari pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga merupakan sistem hukum yang serasi dengan perasaan keadilan dan cita-cita hukum, serasi dengan pandangan mengenai keadilan.[4] Istilah Hukum Indonesia sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjuk pada sistem norma yang berlaku dan atau diberlakukan di Indonesia. Hukum Indonesia adalah hukum, sistem norma atau sistem aturan yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain yang juga popular digunakan, Hukum Indonesia adalah hukum positif Indonesia, semua yang dipositifkan atau yang sedang berlaku di Indonesia.[5]


II. METODE PENELITIAN

Untuk menganalisis kedudukan Ketetapan MPR dilakukan secara normatif konstitusional, yaitu Konstruksi berpikir demikian, memudahkan upaya untuk menemukan keseimbangan hukum dan keharmonisan hukum yang selaras dan serasi, serta sesuai di antara norma hukum baik ke atas maupun ke bawah. Timbulnya ketidakadilan sosial itu lebih merupakan sebagai akibat dari proses legislasi penguasa.
Menggali konsep harmonisasi hukum dalam perspektif perundang-undangan, menggunakan pemikiran terintegrasi yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis dan yuridis, sistem perundang-undangan yang memenuhi prinsip-prinsip sistem hukum nasional Indonesia.[6]
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam pengkajian peraturan perundang-undangan yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, konsisten dan taat asas, mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.


III. LANDASAN TEORI

A. Sejarah Hierarki Perundang-Undangan Indonesia

Pertama kali Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan, maka hanya terdapat tiga jenis Peraturan Perundang-undangan yaitu :
  • Undang-Undang
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  • Peraturan Pemerintah
Maka berdasarkan Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959 dikeluarkan jenis atau bentuk peraturan perundangan selain yang telah disebut di dalam UUD 1945, yaitu :
  • Penetapan Presiden
  • Peraturan Presiden
  • Peraturan Pemerintah
  • Keputusan Pemerintah
  • Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri
Dengan adanya jenis atau bentuk peraturan perundangan tersebut, maka terjadi kekacauan terutama dalam tata urutan peraturan perundangan dan materi yang diatur, sehingga tidak ada kepastian hukum yang pada akhirnya dikeluarkan ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, sebagai tertib hukum yang pertama, yaitu :
  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Ketetapan MPR/S
  • UU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  • Peraturan Pemerintah
  • Keputusan Presiden
  • Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.
Kemudian ketetapan MPRS tersebut telah disempurnakan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 yang menentukan tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Ketetapan MPR/S
  • Undang-Undang
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  • Peraturan Pemerintah
  • Keputusan Presiden
  • Peraturan Daerah.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia hanya terdiri atas :
  • Undang-Undang Dasar 1945;
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah;
  • Peraturan Presiden;
  • Peraturan Daerah.
Status Ketetapan MPR/S sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan ditiadakan. Karena itu MPR hasil Pemilihan Umum tahun 2004 yang telah mendasarkan diri kepada UUD 1945 pasca perubahan keempat tahun 2002, tidak lagi berwenang menetapkan garis-garis besar haluan negara dan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan mengikat untuk umum seperti sebelumnya.[7]
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, maupun UU Nomor 12 Tahun 2011, sama-sama mengatur mengenai teori a quo. Sedangkan pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur teori a quo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah;
  • Peraturan Presiden;
  • Peraturan Daerah Provinsi; dan
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

B. Perubahan Struktur Ketatanegaraan

Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan dalam Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, khususnya Pasal 1 Ayat (2). Perubahan dalam Pasal 1 Ayat (2) telah mengubah struktur kekuasaan negara sebagai implementasi dari prinsip kedaulatan rakyat. Perubahan tersebut membawa konsekuensi perubahan struktur kelembagaan negara dan wewenang lembaga-lembaga negara. Sejak semua lembaga negara mendapatkan kekuasaan dari UUD 1945, maka MPR tidak lagi memiliki wewenang membentuk Ketetapan MPR. MPR lebih berfungsi sebagai lembaga konstituante (berwenang mengubah dan menetapkan UUD) dan berfungsi “semacam” joint session dari dua lembaga parlemen, yaitu DPR dan DPD. Oleh karena itu Ketentuan Pasal 3 UUD 1945 berubah menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Sebelum Perubahan UUD 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sehingga lembaga-lembaga negara lain memperoleh mandat dari MPR. Untuk menjalankan kekuasaan tersebut, UUD 1945 sebelum perubahan memberikan wewenang kepada MPR untuk menetapkan UUD dan garis-garis besar dari pada haluan negara (Pasal 3 sebelum Perubahan).
Untuk menjalankan wewenang tersebut produk hukum yang dihasilkan oleh MPR adalah UUD dan Ketetapan MPR. Lembaga-lembaga tinggi negara menjalankan mandat untuk melaksanakan ketetapan MPR dan mempertanggungjawabkan kepada MPR.
Perubahan tersebut di atas telah ditindaklanjuti oleh MPR sendiri melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Konsideran menimbang huruf b dan huruf c Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 menunjukkan bahwa ketetapan ini lahir karena perubahan struktur kelembagaan negara dan perubahan kedudukan, fungsi, tugas dan lembaga negara.
Selanjutnya, ketentuan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”. Ketentuan ini merupakan dasar hukum lahirnya Tap MPR Nomor I/MPR/2003.


IV. PEMBAHASAN

A. Eksistensi TAP MPR Secara Normatif Konstitusional

Sistem hukum nasional memiliki asas filosofis yang terdapat dalam Pancasila, asas konstitusional yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan asas operasionalnya terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Asas-asas tersebut harus terdapat hubungan yang harmonis, selaras, serasi, seimbang, konsisten dan terintegrasi.
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sehingga lembaga-lembaga negara lain memperoleh mandat dari MPR. Untuk menjalankan kekuasaan tersebut, Undang-Undang dasar 1945 sebelum perubahan memberikan wewenang kepada MPR untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar dari pada Haluan Negara. Lembaga-lembaga tinggi negara menjalankan mandat untuk melaksanakan ketetapan MPR dan mempertanggungjawabkan kepada MPR.[8] Setelah perubahan UUD, sesuai ketentuan Pasal 1 Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, MPR ditugaskan melakukan peninjauan kembali materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR RI sejak 1960 sampai dengan 2002, yang pada akhirnya dikeluarkan Ketetapan Nomor I/MPR/2003. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 menentukan 6 kategori status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang sudah ada, yaitu:
  • Tap MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
  • Tap MPR yang dinyatakan tetap berlaku;
  • Tap MPR yang berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004;
  • Tap MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU yang mengatur substansi yang sama;
  • Tap MPR tentang Tata Tertib MPR RI yang masih berlaku sampai ditetapkannya Peraturan Tata tertib MPR yang baru; dan
  • Tap MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut karena bersifat einmalig.
Status Ketetapan MPR/S sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan ditiadakan. Karena itu MPR hasil Pemilihan Umum tahun 2004 yang telah mendasarkan diri kepada Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan keempat tahun 2002, tidak lagi berwenang menetapkan garis-garis besar haluan negara dan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan mengikat untuk umum seperti sebelumnya.[9] Dengan demikian, walaupun di dalam jenis dan hierarki tidak lagi menyebutkan Ketetapan MPR sebagai jenis peraturan perundang-undangan, namun Ketetapan MPR masih tetap sah berlaku sebagai produk hukum nasional. Dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Dapat dipermasalahkan apa dasar hukum Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 MPR sudah tidak memiliki wewenang membentuk Ketetapan MPR lagi? Dasar hukumnya adalah Pasal I Aturan Peralihan dan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebaliknya, masuknya Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan justru melahirkan persoalan hukum baru, yaitu pertentangan antara Ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa beberapa Ketetapan MPR masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU. Di sisi lain, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menempatkan Ketetapan MPR di atas undang-undang yang dari sisi hirarki hukum mengandung konsekuensi bahwa produk hukum undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan MPR, konsekuensinya produk hukum undang-undang tidak dapat menyatakan ketentuan yang lebih tinggi tidak berlaku.
Ketentuan ini tentu bertentangan dengan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang menyatakan bahwa terdapat ketetapan MPR yang akan menjadi tidak berlaku jika sudah diatur dalam undang-undang. Namun jika menggunakan logika Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menempatkan Ketetapan MPR di atas undang-undang, maka yang harus digunakan adalah ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 di mana substansinya justru menegaskan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu sendiri.
Menurut Hans Kelsen jika norma menetapkan bahwa prilaku tertentu “seharusnya” dilakukan, dalam arti “memerintahkan” perilaku itu, maka perilaku aktualnya boleh jadi sesuai atau tidak sesuai dengan norma tersebut.[10] sistem hukum akan memperoleh makna normatifnya hanya dari kaidah-kaidah lain yang lebih tinggi. Tata hukum merupakan suatu hirarki kaidah-kaidah (grundnorm). Grundnorm theory atau stufenbau theory, yaitu dalil yang menganggap bahwa semua hukum itu bersumber pada satu induk. Dalam pengertian ini, setiap norma hukum “yang lebih tinggi” adalah “sumber” dari norma hukum “yang lebih rendah”.[11]
Demikian pula Scheltema menjelaskan bahwa asas kepastian hukum dalam negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar-manusia, yakni menjamin prediktabilitas dan juga bertujuan untuk mencegah bahwa hak terkuat yang berlaku.[12]
Merujuk pada Pasal 22A Undang-Undang dasar 1945, mengamanatkan untuk membentuk undang-undang tentang tata cara pembentukan undang-undang. Dengan pendekatan normatif tersebut maka mutatis mutandis kedudukan Ketetapan MPR di bawah UUD 1945 terderogasi dengan norma organik sebagaimana Pasal 22 A Undang-Undang Dasar 1945, sehingga menjadi koherensi norma yang memungkinkan Ketetapan MPR akan menjabarkan materi Undang-Undang 1945.
Merujuk Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa konstitusi dapat membatasi Hak Asasi Manusia hanya dengan undang-undang dan bukan dengan produk hukum lain. Tetapi Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (termasuk larangan paham komunis) jelas mengandung materi muatan yang jelas melakukan pembatasan Hak Asasi Manusia.
Masalah lainnnya yaitu tidak ada mekanisme pengujian terhadap Ketetapan MPR menyebabkan terjadinya kekosongan hukum serta tidak adanya lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR, inilah yang dinamakan tetraa incognita.
Selain itu keberadaan Ketetapan MPR telah menjadikan tidak adanya kepastian hukum dan menciderai keadilan dan hak konstitusional warga negara sebagaimana amanat Pasal 28 D Undang-Undang 1945, dengan begitu tanpa disadari telah menciderai konsepsi negara hukum dalam jaminan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.

B. Penemuan Hukum Dalam Rangka Menjamin Hak Konstitusional Warga Negara

Keberadaan Ketetapan MPR di dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak ditemukan aturan atau mekanisme pengujian TAP MPR yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum serta tidak adanya lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR, inilah yang dinamakan tetraa incognita. Sistem perundang-undangan merupakan subsistem hukum nasional yang mencakup semua hasil keputusan resmi yang tertulis dari penguasa yang mengikat umum, yang secara keseluruhan dalam kerangka sistem hukum nasional.
Implikasi tetrra incognita sebagai implikasi keberadaan Ketetapan MPR di dalam hierarki peraturan perundang-undangan tentunya dapat diselesaikan walaupun pengujian Ketetapan MPR tidak disebutkan sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi, namun dimungkinkan dapat diujikan oleh Mahkamah Konstitusi semata-mata untuk mengisi kekosongan hukum.
Menurut Jimly Asshidiqqie Ketetapan MPR/MPRS sebagai produk hukum yang mengatur (regeling) merupakan bentuk penafsiran dan elaborasi normatif itu diperlukan untuk melengkapi haluan-haluan negara yang terdapat dalam konstitusi tertulis yang belum lengkap itu. Dengan Negara lain, Ketetapan MPR/MPRS itu juga mempunyai nilai konstitusi atau setidaknya sebagai bentuk penafsiran atas Undang-Undang Dasar 1945 atau bahkan merupakan perubahan undang-undang Dasar dalam bentuk yang tidak resmi menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945.[13]
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak di wujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[14]
Tugas hukum ialah mewujudkan keadilan. Keadilan sebagai tujuan utama karena tiga kepentingan hidup bersama. Kepentingan hidup bersama Negara tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[15] Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan, hukum mempunyai fungsi sebagai pemelihara dalam ketertiban dan keamanan, sebagai sarana pembangunan, sebagai sarana penegak keadilan dan sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Perubahan atau pembaruan hukum melalui peraturan perundang-undangan yang lebih bercirikan sikap hidup serta karater bangsa Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal Negara1 sebagai warga dunia, sehingga ke depan akan menjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesia atau mempunyai Negara bangsa yang positif.
Konsekuensinya suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan hukum tertentu dapat dievaluasi atau disingkronisasikan, yaitu diharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Berdasarkan teori hierarki ini akan memudahkan untuk menemukan keseimbangan hukum dan keharmonisan hukum yang selaras dan serasi, serta kesesuaian di antara norma baik secara vertikal maupun horizontal.
Apabila diperlukan penafsiran, karena adanya keraguan dalam singkronisasi, maka untuk mendapatkan penjelasannya harus dicari pada maksud yang terdapat atau yang terkandung pada norma hukum pada tingkatan yang lebih tinggi. Penafsiran akan menelusuri hukum positif Negara sebagai sumber hukum positif norma-norma peraturan perundang-undangan Negara.[16]


V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kepentingan hidup bersama dalam menjamin, pemenuhan dan perlindungan hak konstitusional warga Negara terdapat tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, sehingga keharusan adanya suatu tata hukum, merupakan prinsip yang pertama-tama harus ada dalam Negara hukum. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Suatu tata hukum yakni setiap norma hukum harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem, artinya norma hukum yang satu tidak boleh mengesampingkan norma hukum yang lain.
Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang menyatakan bahwa terdapat ketetapan MPR yang akan menjadi tidak berlaku jika sudah diatur dalam UU. Namun jika menggunakan logika UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menempatkan Ketetapan MPR di atas UU, maka yang harus digunakan adalah ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dimana substansinya justru menegaskan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang menguji Tap MPR, khusus untuk Ketetapan MPR yang disebut di dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003, karena ketentuan pasal itu telah menyamakan kedudukan Ketetapan MPR terkait dengan UU. Sedangkan terhadap Ketetapan MPR yang ditentukan dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003, MK tidak memiliki wewenang menguji karena ketentuan Pasal 2 itu sendiri tidak memungkinkan adanya perubahan atau pencabutan dengan UU. Ketetapan-ketetapan MPR dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dapat diposisikan sebagai bagian dari konstitusi secara luas.

B. Saran

Sehubungan Perubahan UUD 1945 memang tidak lagi memberikan wewenang kepada MPR untuk membentuk produk hukum ketetapan MPR, namun sama sekali tidak menyatakan bahwa Ketetapan MPR yang sudah ada tidak lagi memiliki kekuatan hukum dan sebagaimana kesimpulan diatas penulis menyarankan agar dapat memudahkan kita untuk menemukan keseimbangan hukum dan keharmonisan hukum yang selaras dan serasi, serta kesesuaian di antara norma baik secara vertikal maupun horizontal dalam rangka menegakan konstitusi negara, haruslah ada tindakan untuk mengisi kekosongan hukum sebagai upaya penemuan hukum terkait kewenangan menguji ketetapan MPR karena menurut penulis Ketetapan-ketetapan MPR dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dapat diposisikan sebagai bagian dari konstitusi secara luas.


FOOTNOTE

[1] Moh. Hasan Wargakusumah, dkk. 1996/1997. Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum. BPHN Departemen Kehakiman. hal. 4.
[2] Hans Kelsen. 1971. General Theory of Law and State. New York : Russel and Russel. Raisul Muttaqien (penterjemah). 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Nusamedia dan Nuansa. Bandung. Cet. 1. hal. 188-189.
[3] Lawrence Meir Friedman. 1975. The legal System. A Social Science Perspective. New York. Russell Sage Foundation. hal. 14.
[4] M. Solly Lubis. 1992. Hukum Tata Negara. Mandar Maju. Bandung. hal. 9.
[5 Ilham Bisri. 2007. Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta. hal. 5.
[6] Moh. Hasan Wargakusumah, dkk. Loc.Cit. hal. 4.
[7] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 52.
[8] Ibid, hal. 48-49.
[9] Loc Cit, hal. 52.
[10] Ibid, hal. 19-20.
[11] Op. Cit. hal. 188-189.
[12] B. Arief Sidharta. 2004. Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum. Jentera : Jurnal Hukum. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Edisi 3 Tahun II. hal. 124.
[13] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 50.
[14] Carl Joachim Friedrich 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa dan Nusamedia. Bandung. hal 23.
[15] Theo Huijbers. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah. Kanisius. Yogyakarta. hal. 288-298.
[16] Marsilam Simanjuntak. 1994. Pandangan Negara Integralistik. Temprint. Jakarta. hal. 27.


DAFTAR PUSTAKA

  • Arief Sidharta B. 2004. Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum. Jentera: Jurnal Hukum. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Edisi 3 Tahun II.
  • Asshiddiqie Jimly. 2006. Perihal Undang-Undang. Konstitusi Press, Jakarta.
  • Bisri Ilham. 2007. Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia. Rajawali Pers, Jakarta.
  • Friedman Lawrence Meir. 1975. The legal System A Social Science Perspective. Russell Sage Foundation, New York.
  • Hasan Wargakusumah Moh, dkk. 1996/1997. Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum. BPHN Departemen Kehakiman.
  • Huijbers Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah. Kanisius, Yogyakarta.
  • Joachim Friedrich Carl. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa dan Nusamedia, Bandung.
  • Kelsen Hans. 1971. General Theory of Law and State. New York : Russel and Russel. Raisul Muttaqien (penterjemah). 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Cet. 1. Nusamedia dan Nuansa, Bandung.
  • Simanjuntak Marsilam. 1994. Pandangan Negara Integralistik. Temprint, Jakarta,
  • Solly Lubis M. 1992. Hukum Tata Negara. Mandar Maju, Bandung.



MALIK IBRAHIM
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda

Demo Blog NJW V2 Updated at: 1:06:00 AM

1 komentar:

©2018 Ilmu Hukum. All Rights Reserved. Template by CB Blogger